Penggusuran Masyarakat Rempang, Muhammadiyah: Negara Gagal Melaksanakan Mandat Konstitusi

  • Bagikan
Foto: Bendera Muhammadiyah

HARIAN BERKAT – Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah akhirnya angkat bicara terkait penggusuran yang terjadi di Rempang, Kepulauan Riau sebagai kegagalan negara dalam melaksanakan mandat konstitusi. Menurut Muhammadiyah, warga Rempang yang saat ini mengalami penggusuran sudah tinggal di daerah itu sejak tahun 1883.

“Pemukiman dan warga tercatat telah ada sejak 1834, tempat tinggal dan pemukiman itulah yang saat ini terancam digusur, “ demikian pernyataan resmi Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) & Majelis Hukum dan HAM (MHH) Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Rabu 13 September 2023.

Baca Juga: Badai dan Banjir di Libya Tewaskan 5.300 Orang dan 10.000 Orang Masih Hilang

Menurut PP Muhammadiyah, proyek ini tidak pernah dikonsultasikan secara bermakna kepada masyarakat Rempang yang akan terdampak. “Hampir dalam setiap Pembangunan Proyek Strategi Nasional (PSN) di Indonesia, pemerintah selalu melakukan mobilisasi aparat secara berlebihan yang berhadapan dengan masyarakat, “ demikian bunyi pernyataan keras Muhammadiyah yang ditandatangani Ketua LHKP & MHH PP Muhammadiyah Dr. phil. Ridho Al-Hamdi, MA dan Sekretaris Dr. Trisno Raharjo, SH, M.Hum ini.

Lebih jauh, dalam PSN, pengadaan tanahnya terindikasi kerap merampas tanah masyarakat yang tidak pernah diberikan hak atas tanah oleh pemerintah. Atas dasar itu, LHKP dan Majelis Hukum & HAM PP Muhammadiyah mengecam kebijakan publik pemerintah untuk menggusur masyarakat Pulau Rempang, Kepulauan Riau demi kepentingan industri swasta.

PP Muhammadiyah juga mengingatkan pola-pola lama dengan menggunakan kekuatan kepolisian dan militer menghadapi masyarakat. “Pola pelaksanaan kebijakan yang tanpa konsultasi dan menggunakan kekuatan kepolisian dan TNI secara berlebihan bahkan terlihat brutal, pada 7 September 2023, ini sangat memalukan,” tambah pernyataan tersebut.

Pemerintah terlihat ambisius membangun proyek bisnis dengan cara mengusir masyarakat yang telah lama hidup di Pulau Rempang, jauh sebelum Indonesia didirikan.

LHKP dan MHH PP Muhammadiyah juga menyinggung pernyataan Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD yang menyatakan bahwa “tanah di Pulau Rempang itu belum pernah digarap” sangat keliru.

“Faktanya, masyarakat di sana telah ada sejak tahun 1834. Menko Polhukam nampak jelas posisinya membela kepentingan investor swasta dan menutup mata pada kepentingan publik, termasuk sejarah sosial budaya masyarakat setempat yang telah lama dan hidup di pulau tersebut,” tulis pernyataan itu.

Baca Juga: Gerebek Pesta Seks di Hotel Jaksel, Polisi Tangkap Pasutri dan Dua Pelaku Lainnya

LHKP dan MHH menilai penggusuran di Pulau Rempang ini menunjukkan kegagalan pemerintah menjalankan mandat konstitusi Indonesia. Dalam UUD 1945 disebutkan, tujuan pendirian negara adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa.

“Selain itu, negara gagal menjalankan Pasal 33 yang menyebutkan bahwa Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”

Sebaliknya, melalui penggusuran paksa itu, negara mempertontonkan keberpihakan nyata kepada investor yang bernafsu menguasai Pulau Rempang untuk kepentingan bisnis mereka berupa Proyek Eco-city seluas 17.000 hektar.

Menurut catatan PP Muhammadiyah, kasus ini bermula sejak 2001, ketika Pemerintah Kota Batam datang ke Jakarta untuk mengajukan pengembangan Kawasan Rempang berdasarkan Perda Kota Batam Nomor 17 Tahun 2001 tentang Kepariwisataan Kota Batam.

Mereka kemudian mengundang pengusaha nasional dan investor dari Malaysia serta Singapura, dengan PT MEG (Grup Artha Graha milik Tommy Winata), yang dipilih untuk mengelola dan mengembangkan kawasan tersebut selama 30 tahun, yang dapat diperpanjang hingga 80 tahun.

Tahun 2007 proyek ini diketahui masyarakat secara luas dan mendapatkan penolakan. Pada Juli 2023, pemerintah menandatangani nota kesepahaman dengan Xinyi Group dari China untuk investasi sebesar 11,5 Miliar USD dalam pembangunan pabrik kaca dan solar panel di Pulau Rempang, sebagai bagian dari konsep Rempang Eco-City.

  • Bagikan