HARIAN BERKAT –Pengalaman haji tidak sama bagi setiap orang. Untuk sejuta orang jemaah haji misalnya, masing-masing mempunyai pengalaman yang berbeda satu sama lain. Biasanya, pengalaman haji itu bersangkut paut dengan sifat atau tingkah laku jemaah sendiri.
Berikut Catatan Kenangan Berhaji Syafaruddin DaEng Usman yang disampaikan ke Redaksi harianbekat.com
Dulu, tahun 1980-an, ketika aku masih duduk di bangku sekolah dasar dan tinggal di kampungku, di Ngabang, seringkali melihat tetangga atau keluarga mengadakan pengajian, terutama saat di empunya rumah hendak pergi ke Tanah Suci menunaikan ibadah haji.
Beberapa hari kemudian, ramai orang mengantar ke Pontianak calon jemaah haji itu dengan isak tangis. Seakan mereka yang pergu ke Tanah Suci tak akan kembali pulang lagi.
Itulah pengalaman masa kecil yang muncul di benakku, saat mempersiapkan diri untuk berhaji tahun 2002. Aku tak merasa khawatir bakal pergi ke Mekkah dan tak kembali ke Pontianak, karena dari kenangan masa kecil itu, para keluarga dan tetangga yang pergi haji semuanya kembali dengan wajah sumringah. Lalu mengapa pula aku mesti risau?
Pergi haji masa kini serba praktis. Bekal yang diperoleh lewat beberapa kali mengikuti manasik haji dan membaca buku-buku tentang haji, cukup membuat hati mantap menunaikan rukun Islam yang terakhir ini.
Sebagai jemaah calon haji aku memiliki keyakinan bahwa semua ibadah, dzikir, doa, dan permohonan ampun pasti dikabulkan Allah SWT. Pikirku, bukankah aku ke Tanah Suci untuk memenuhi panggilan Nya?
Labbaikallahhumma labbaik. Labbaika laa syariika laka labbaik. Innalhamda wanni’mata laka walmulka laa syariikalak. (Aku datang memenuhi panggilan Mu Ya Allah, tiada sekutu bagi Mu. Ya Allah aku penuhi panggilanmu. Sesungguhnya segala puji dan nikmat adalah bagi Mu semata. Segenap kerajaan untuk Mu, tiada sekutu bagi Mu)
Tiba di Mekkah setelah perjalanan panjang dari Tanah Air, aku langsung menunaikan ibadah umrah. Kelelahan perjalanan seakan hilang begitu melihat Ka’bah berada di depan mata. Aku merasa amat dicintai Allah hingga diizinkan melihat langsung Ka’bah, kiblat shalat yang selama di Indonesia tak pernah tampak langsung di depan mata. Nikmatnya shalat langsung di depan Ka’bah merupakan campuran perasaan bersyukur, takjub, sekaligus kecil di antara sekian banyak orang yang memenuhi Masjidil Haram.
Setiba di Tanah Suci status pun berubah menjadi tamu Allah, dhuyufur Rahman. Sebelum memasuki rumah Allah, Baitullah, sebagai tamu Nya, seperti juga jemaah calon haji lainnya aku terlebih dahulu membersihkan batin dan memperbaharui imam serta bertekad menyerahkan diri sepenuhnya hanya kepada Allah semata.
Selain dosa yang sebanyak pasir dan buih lautan, pengalaman dan pengetahuan agama Islam yang kumiliki juga kurasakan sangat minim. Aku berpikir, dalam keadaan bergelimang dosa, aku datang memenuhi panggilan Nya. Untuk itu, apa pun yang terjadi aku ikhlas menerima ganjaran dari Allah, baik dalam perjalanan haji di dunia ini maupun di akhirat kelak.
Jarak Jeddah-Madinah sekitar 425 km, Jeddah-Mekkah sekitar 107 km, Mekkah-Madinah sekitar 498 km, dan Mekkah-Arafah sekitar 25 km. Rentangan jarak tersebut hanyalah sebagian dari kegiatan dan perjalanan yang harus ditempuh.
Padahal kegiatan ibadah haji bukan hanya untuk menjalani jarak tersebut dengan jalan darat saja, tetapi juga kegiatan-kegiatan fisik lain yang menguras tenaga.
Kata Almarhum Bapakku, oleh karena itu, jika syarat sudah terpenuhi, pergilah haji selagi masih muda. Kesiapan mental dan fisik yang kuat merupakan faktor penunjang dalam pelaksanaan ibadah haji, bahkan sudah mulai sejak persiapan di Tanah Air.
Di hadapan Baitullah hatiku langsung mencelos, rasanya malu sekali. Tak terasa aku menangis sambil memandang Ka’bah. Aku merasa begitu kejam, tak tahu berterima kasih, dan tak bersyukur ataa segala nikmat yang diberikan Allah selama ini. Seketika itu aku merasa ada tangan menepuk-nepuk perlahan pundakku.
“Ya Allah, ampuni aku. Ya Allah, jadikanlah aku senantiasa menjadi makhluk Mu yang selalu bersyukur atas segala nikmat yang telah Engkau berikan”, ucapku berulang kali sambil terus menangis dan memandang Ka’bah.
Ada hal atau kenangan menarik ketika aku melaksanakan wukuf di Arafah, dan bertemu dengan sepasang suami-istri muda, yang mengaku belerja di pabrik tekstil di Tangerang. Bersama dua orang rekan lainnya, mereka berjalan kaki dari Makkah ke Padang Arafah dan ketika ditemui sekitat pukul 05.10 mereka baru saja tiba di depan Masjid Al Namirah.
Tidak saja suami-istri ini, ribuan jamaah haji lainnya juga berjalan kaki menuju Padang Arafah. Sekitar pulul 08.15 waktu setempat ketika itu, Arafah sudah dipadati hampir dua juta jamaah. Rombongan kami tiba di Arafah dengan bus full AC, dikawal mobil sekuriti yang tidak henti-hentinya membunyikan sirene meminta jalan. Suatu yang kontras memang.
Kekaguman muncul kembali ketika aku menyaksikan sejumlah warga Mali dari Afrika tanpa biaya hidup tiba di Arafah. Diantarkan kendaraan reyot yang sudah pantas menjadi besi tua, mereka tiba di Arafah. Kulihat, di antara penumpangnya ada yang sudah uzur, cacat lahir, dan buta sejak lahir. Subhanaallah …
Setelah selesai melaksanakan ibadah haji ataupun umrah, jemaah biasanya dibawa berziarah ke sejumlah tempat bersejarah di Tanah Suci. Suatu hari rombonganku dibawa berziarah ke sejumlah tempat bersejarah yang ada di sekitar Mekkah, termasuk tempat wukuf di Arafah, yang saat itu sudah tidak dihiasi tenda-tenda lagi.
Sebelum kembali ke hotel tempat menginap, aku dan rombongan melintasi kawasan bukit berbatu, Jabal Nur. Letak tempat ini sekitar 6 kilometer sebelah Timur Laut Ka’bah. Di bagian puncak Jabal Nur ini terdapat satu gua kecil yang dikenal dengan nama Gua Hira. Di gua batu inilah Rasulullah Muhammad SAW menerima wahyu yang pertama, yaitu awal Surat Al Alaq (ayat 1-5).
Sepertinya aku adalah peminat yang mendaki Jabal Nur, atau Bukit Cahaya. Pendakian di tengah siang bolong itu cukup menguji ketahanan fisik dan keteguhan mental. Di awal pendakian saja aku sudah dihadapkan pada jalan menanjak yang membentuk sudut lebih dari 30 derajat.