HARIAN BERKAT – Wartawan dan Dosen IAIN Pontianak, Yusriadi sampaikan bahwa Prof. Syarif Ibrahim Alqadrie atau kami memanggilnya Prof. Syarif dan/atau SIA adalah sosok yang unik.
Beliau juga sosok langka. Satu dari ribuan orang Kalimantan Barat (Kal-Bar) yang berhasil keluar dari ‘tempurung’ lokal. Perjalanannya jauh ke luar negeri, pendidikannya tinggi, pangkatnya memuncak dilakukan dan dicapai hingga jenjangGuru Besar (Professor).
Pada Hari Ulang Tahun (Harah) beliau kali ini saya inginmenyampaikan Selamat Harlah. Semoga tetap sehat, berhasil selalu dan tetap berkarya secara sosial dan akademis.
Masyarakat dan generasi muda Kalbar tetap dan sangat memerlukan dorongan, inspirasi dan kreativitas anda, SIA.
Perkenankan juga saya menyampaikan semacam hadiahHARLAH dalam bidang akademis berbentuk kenangan, kisahdan tanggapan pribadi selama saya mengenal SIA.
Langkah panjangnya sebagai peneliti “local,” begitu sayalihat, membuatnya mampu menjadi pemer-hati perkembangansosial politik mikro dan makro. Kemampuannya berkomunikasi dan beretorika, telah menjadi pelengkap yang mengindikasikan bahwa beliau bukanlah orang biasa.
Pemikiran dan tindakan beliau memperlihatkan diri sebagai orang Istimewa orang yang out of the box. Dia juga dikenalsebagai orang yang ideal serta berani. Dan, tentu saja sosokyang hangat dan sangat bersahabat.
Kombinasi inilah yang membuat beliau mendapatkan tempat khusus di kalangan media dan kolega. Selama beberapa dekade beliau telah menjadi narasumber favorit di kalangan wartawan untuk mendapatkan gambaran sosial – etnik masyarakat di Kalbar.
Maka, ketika saya masih bertugas di lapangan, Bang Holdi, redaktur halaman Equator dan Bang Djun, Pimred Equator, kemudian Bang Nur Is, redaktur juga, sering meminta wartawan menghubungi Prof. Syarif untuk komentar-komentar yang bernas (penuh maknah/berisi).
“Tidak banyak orang yang layak berkomentar, dan juga tidak banyak orang yang berani berkomentar,” begitu kata mereka.
Pada tahun 1990-an akhir di Kalbar, tidak banyak ilmuwan yang memiliki kapasitas yang mendalami persoalan sosialkeetnikan. Iklim akademis belum tumbuh seperti sekarang. Orang yang berpendidikan khusus dan mendalami bidangkhusus itu dapat dihitung dengan telunjuk.
Karya-karya akademis belum membanjir seperti hari ini. Maaf kata, ketika itu pendidikan kebanyakan dosen masih rendah, dan karya mereka satu dua saja. Setelah tesis selesai, selesai pula cerita berkaryanya.
Baca Juga : Hadiahkan Kesan Dalam Tulisan bagi Prof DR Syarif Ibrahim Alqadrie
Maka, kalau diperhatikan benar-benar, beberapa orang yang sering muncul di koran untuk berkomentar tentang masalah publik lebih disebut sebagai komentator (seperti komentatorbola) dan mereka lebih tepat disebut “peminat.” Mereka bukan benar-benar mendalami bidang itu.
Mereka yang kadang oleh media sebelah disebut pengamat –entah sosial, politik, sejarah dan sebagainya-sesungguhnya bukanlah ahli, apalagi pakar.
Ada yang pendidikannya sebenarnya hanya S-1, ada juga yang menyelesaikan pendidikan S-1 di bidang-bidang itu, tetapi mereka tidak punya karya yang menjadi indikasi memiliki kepakaran khusus.
Tidak ada penelitian yang mereka buat dalam bidang atau tema yang mereka komentari. Pimred dan redaktur, bahkan kami yang wartawan tahu bahwa sebagian dari komentar mereka ‘kosong-cakap angin.’
Prof. Syarif tentu sangat berbeda. Kala itu, pada awal-awal kepulangannya dari University of Kentucky, Lexington, Kentucky, AS, walaupun baru Doktor atau Doktor baru, Beliau memperlihatkan jejak akademisnya.
Tesisnya tentang Sosiologi Pedesaan Pertanian, Pedesaan dan Kehutanan, dan Disertasinya tentang Sosiologi Politik, Konflik, Etnisitas dan Perdamaian, kemudian telah memperkaya tulisan-tulisan beliau (terutama makalah-makalah yang disampaikan di seminar-seminar), tentang sosial, kemasyarakat, etnisitas, politik, konflik dan perdamaian, telah membawa beliau pada “derajat” pengamat yang meyakinkan.
Selain itu kepakaran beliau seperti kata ungkapan: ‘hadir di saat yang tepat.’ Kala itu, tahun 1990-an akhir, Kalbar, dan Indonesia umumnya, sedang mengarungi gelombang kehidupan berbangsa yang penuh gelora.
Gelombang kebangkitan etnis, upaya mengukuhkan nasionalisme etnis, bahkan konflik antar kelompok etnis, telah menjadi momentum kelahiran seorang Prof Syarif.
Maka, bukan saja kami orang media yang menggunakan dan meminta jasa beliau untuk berkomentar, tetapi juga pemerintah dan LSM dalam dan luar negeri.
Seminar-seminar mengenai konflik di Kalbar ketika itu rasanya akan kurang gregetnya bila tidak menghadirkan beliau sebagai narasumber. Gaya bicara yang kadang-kadang meledak, tetapi, tetap santun, selalu ditunggu untuk bahan kutipan atau liputan media.
Saya ingat betul betapa beliau menjadi bintang di kalangan peserta dan wartawan dalam seminar yang diselenggarakan Institut Dayakologi tahun 1990-an.
Temanya adalah tentang pemberdayaan masyarakat Adat (Dayak). Sebagai ilmuan Universitas Tanjungpura (UNTAN), Pontianak, yang bukan orang Dayak, pandangan terhadap orang Dayak dianggap sebagai pandangan yang penting untuk melihat revitalisasi dan perkembangan komunitas ini.
Kenyataannya, memang pandangan yang beliau kemukakan selalu bernas. Apa yang disampaikan isi atau daging semuanya.
Saya kira pandangan beliau memiliki manfaat luar biasa dalam konfigurasi kehidupan sosial masyarakat di Kalbar.
Sebagai contoh, ketika awam melihat bahwa konflik yang terjadi pada tahun 1990-anakhir hingga awal 2000-an merupakan konflik etnis, beliau dengan lantang mengatakan bahwa konflik itu bukan konflik etnik.
Berbuih-buih beliau membantah pernyataan provokatif dan hoaks.
Menurut beliau, konflik di awal reformasi itu adalah konflik antar kelompok yang mengatas-namakan etnis. Beliau menunjukkan contoh bahwa tidak semua orang Dayak dengan Madura atau Melayu dengan Madura atau Dayak denganTionghoabermusuhan.
Banyak di antara mereka yang hidup rukun dan damai serta saling melindungi ketika konflik terjadi, meskipun mereka amat menyadari bahwa yang mereka lindungi itu orang yang berbeda suku atau kelompok etnisnya.
Hingga hari ini pandangan-pandangan beliau masih bergema di ruang publik. Pandangan beliau telah membangun kesadaran kritis masyarakat bahwa konflik yang terjadi pada tahun 1990-an itu tidak sederhana. Keadaan itu jauh dan sangatkompleks.
Penelitian-penelitian pasca konflik yang dilakukan beberapa ilmuan di kemudian hari menunjukkan bahwa dalam konflik-konflik (yang oleh awam disebut konflik etnis itu) melibatkan aktor-aktor lintas etnik.
Faktor-faktor politik, ekonomi, dan sosial, telah memberi warna dan berkontribusi dalam porsinya masing-masing. Itulah salah satu warisan beliau yang sangat berharga dan tak ternilai. Warisan itu menempatkan beliau sebagai ‘professor ulung,’ dan tak terlupakan.
Selain pemikirannya yang bernas, Prof. Syarif juga memiliki kepribadian yang menarik. Kombinasi inilah yang menyebabkan beliau menjadi orang terbilang di mata banyak orang.
Saya dan rekan-rekan wartawan sangat menyenangi beliau. Beliau orangnya sederhana dan hangat. Wartawan yang melakukan wawancara dengan beliau, tidakpernah pulang dengan hampa.
Wartawan tidak pulang dengan tangankosong. Sesibuk apapun beliau –kesan saya beliau tidak pernah sibuk—selalu ada waktu untuk ditemui dan diwawancarai.
Padahal para periode-periode itu beliau pasti juga merupakan orang yang sangat sibuk. Sebagai dosen dan ilmuwan pasti beliau memiliki kesibukan untuk mengajar, meneliti, dan menulis.
Sebagai pejabat –beliau menjadi orang penting di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIPOL) Untan, beliau pasti mengurus lembaga dan mahasiswa-mahasiswa di sana.
Penting dikemukakan di sini bahwa dalam kehidupan beliau, tidak ada istilah allergyterhadap wartawan. Wartawan adalah sahabat baginya.
Ungkapan itu beberapa kali beliau sampaikan kepada saya, dan tentu saja membuat kami tersanjung. Bayangkan betapa mulianya wartawan di mata beliau.
Selama bertahun-tahun berhubungan dengan Prof. Syarif, sikap terbuka selalu beliau tunjukkan. Dan, hal yang menurut saya unik: beliau tidak pernah takut diwawancarai untuk hal apapun.
Sepertinya, sepanjang waktu beliau tidak pernah takut terhadap konsekuensi negatif dari komentar-komentar beliau yang diterbit media.
Apakah wawancara-wawancara yang diterbitkan itu tidak mengganggu kehidupan beliau? Apakah tidak ada pejabat yang marah atau sekurangnya menjadi tidak sukaketika pagi harinya dikritisi oleh Prof. Syarif?
Apakah tidak ada kelompok orang yang digerakkan aktor tertentu mendatangi rumah beliau atau mengirim terror melalui telepon, ketika komentar Prof. Syarif menjadi headline di media massa? Masa’ sih tidak ada?!
Kadang saya meraba: Mungkinkah Prof. Syarif tidak sadar mengenai arah pemberitaandan pesan tersirat dari dapur redaksi ketika mewawancarai beliau?
Kalau sadar mengapa tetap selalu mau melayani permintaan komentar dari wartawan?
Hari ini, saat saya memikirkan kembali hal itu, saya membayangkan betapa luar biasanya Prof Syarif mengatasi persoalan-persoalan yang muncul.
Itulah tanda bahwa beliau adalah orang yang bersih hatinya yang jauh dari prasangka.
Prof Syarif juga layak dikagumi karena kesederhanaan beliau. Berkali-kali saya melakukan wawancara belum pernah sekalipun saya mendengar beliau “omong besar” atau “melagak” kepada kami.
Saya juga tidak mendengar ada keluhan dari rekan wartawan yang terkemudian.
Banyak orang ‘sok pintar’ dan menggurui wartawan ketika wawancara.
Mereka pikir hanya mereka yang tahu tentang topik yang dibicarakan, dan wartawan itu kosong melompong. Meskipun kapasitas dan pengalaman mereka jauh di bawah Prof. Syarif.
Oleh karena itulah kami tidak pernah jera atau mengelak jika ditugaskan “memburu” Prof. Syarif. Bahkan, sering kali kami sendiri yang memiliki inisiatif tanpa diperintahkan oleh redaktur untuk melakukan wawancara.
Sampai-sampai suatu ketika saat kami menghubungi beliau untuk wawancara, beliau heran. “Tadi, saya sudah wawancara dengan teman anda”. Tuh, bayangkan!
Ketangguhan Prof Syarif juga layak dikagumi dan dicontohi. Beliau berjuangmenumbuhkan kultur akademis di Untan. Beliau juga berusaha mewariskansemangat belajar, memberikan motivasi kepada kolega, junior dan tentu sajakepada mahasiswanya.
Sebagai kolega saya mendapatkan banyak pelajaran hidup sebagai seorang akademisi. Kemauan belajar, kesediaan mendengar, dan kegigihan berusaha telah Beliau tunjukkan dalam berbagai kesempatan.
Baca Juga : Mengenal Tokoh Melintas Zaman Prof Dr Syarif Ibrahim Alqadrie
Rumah dan kampus beliau adalah “field station” bagi banyak orang. Mungkin tak terhitung banyaknya ilmuan luar yang singgah di rumah beliau di komplek Untan. Ada dari AS, Canada, Denmark, Belanda, Finlandia, Swedia, Norwegia, Jepang, Inggris, Malaysia, Thailand dan lain-lain.
Mereka datang berdiskusi dan mengasah tesis mereka tentang Kalbar. Dari interaksi itu, Prof Syarif mendapat pembaharuan (update) tentang perkembangan akademis lokal dan global.
Dan melalui pertemanan itu Prof Syarif kadang juga diundang untuk memberikan kuliah tamu di kampus luar, menyampaikan hasil temuan dan membagi ilmu untuk masyarakat akademis internasional.
Saya kira level ini belum ada yang menandingi di Kalbar.
Saya juga terkesan pada sisi kemandirian hidup yang diperlihatkan oleh Prof Syarif. Beliau terkena stroke (sejak 2003), dan itu menyebabkan fungsi tangan dan kakibeliau tidak normal. Stroke telah membuat beliau sulit berjalan dan beraktivitas. Tetapi, jangan dikira beliau menyerah. Tidak!
Saat perjalanan bersama beliau ke Jakarta untuk menghadiri peluncuran buku Jusuf Manggabarani karya Bang Nur Iskandar (Nuris), saya dibuat takjub pada kemandirian beliau.
Pada mulanya beberapa kali saya ingin membantu beliau baik berjalan maupun mengambil makanan, tetapi, Beliau selalu menolaknya.
“Jangan, jangan bantu saya. Saya harus berusaha,” pintanya.
Apa yang terjadi? Saya harus tega melihat beliau bersusah payah. Beliau menolakkarena ingin berusaha sendiri. Dengan berusaha sendiri beliau berjuang untuk membiasakan diri dan menerima keadaan.
Menurutnya, berusaha sendiri itu adalah bagian dari proses penyembuhan. Nah, inilah point penting yang menjadi pelajaran bagi saya: membantu orang atau berbuatsesuatu untuk orang lain, tidak selamanya baik bagi orang itu. Justru, membiarkannya, lebih baik daripada membantunya.
Prof Syarif kini memang telah pensiun. Beliau tidak lagi seperti tahun-tahun yang lalu. Usia telah secara perlahan membatasinya. Tetapi, semangat beliau tidak pernah pudar. Profil seorang yang out of the box tetap melekat padanya.
Hari ini beliau menunjukkan semangat itu dengan menerima ucapan Harlah ke-80 dan menerima semacam hadiah kenang-kenangan dari kami, rekan, sahabat, mantan mahasiswa dan yuniornya.
Ucapan dan hadiah Ultan seperti ini sederhana memang. Tetapi, saya dapat membayangkan itu tidaklah sederhana. Karena menginjak Harlah 80 SIA masih terus menulis dan berkomentar tentang nilai-nilai kehidupan, kemanusiaan, pemikiran, jejak, dan kebesaran hidup, yang akan menjadi teladan kehidupan bagi generasi muda.
Menjadi kehormatan bagi saya dapat menyampaikan Selamat Harlah kepada Beliau dan berkesempatan menulis testimoni tentang sosok yang luar biasa ini.
Meskipun banyak alasan saya ada-adakan karena belum dapat meneladaninya, tetapi, sekurangnya cerita dan pendapat ini menjadi prasasti untuk mengingatkan tentang sosok akademisi yang dapat menjadi teladan bagi generasi di kemudian hari.
Baca Juga : Prof Dr Syarif Ibrahim Alqadrie Sosok Teladan Bagi Para Dosen
Ada orang bijak mengatakan: “Jika ingin menjadi orang besar, menulislah tentang orang besar.” Melalui tulisan sederhana ini saya menumpang nama besar Prof. Syarif. Sehat selalu ya Prof. ***
Penulis Oleh : Yusriadi