HARIAN BERKAT – Di usia 47 tahun, Ali Suhardi seharusnya bisa fokus memulihkan kesehatannya. Tapi yang terjadi justru sebaliknya. Warga Desa Mak Tanggok, Kecamatan Tebas, Kabupaten Sambas ini harus bolak-balik ratusan kilometer, membawa harapan yang setiap kali pupus di depan meja administrasi rumah sakit.
Ali bukan tidak punya jaminan kesehatan. Ia adalah peserta BPJS Kesehatan, seperti jutaan warga lainnya. Namun, saat tubuhnya melemah karena saraf terjepit dan harus menjalani pemeriksaan MRI, sistem yang seharusnya membantunya justru memperumit segalanya.
Baca Juga: Begini Cara Atur Gula Darah dengan Teknik Duduk Berjalan
Semua bermula ketika ia dirujuk dari RSUD Pemangkat ke RSUD Abdul Aziz Singkawang, lalu ke Rumah Sakit Kartika Husada di Kubu Raya. Bersama istri dan anaknya, ia menempuh perjalanan tujuh jam dari Sambas ke Pontianak pada 14 Mei 2025.
Namun harapannya kandas sesampainya di rumah sakit. Antrean penuh, katanya. Ia diminta pulang dan kembali lima hari kemudian.
“Kami sudah jauh-jauh datang, berharap bisa langsung ditangani. Tapi kami hanya disuruh menunggu dan kembali minggu depan. Tidak ada pilihan selain pulang. Badan saya sakit, tapi hati lebih sakit,” kenang Ali dengan suara pelan.
Namun pada 19 Mei, Ali kembali ke rumah sakit sesuai jadwal. Namun, bukan pengobatan yang ia terima. Rumah sakit justru memintanya kembali ke RSUD Abdul Aziz Singkawang untuk mendapat surat rujukan tambahan, kali ini khusus untuk tindakan bius.
MRI pemeriksaan yang mengharuskan pasien berbaring tanpa bergerak selama 45 menit—sulit dijalani Ali. Rasa sakit yang luar biasa membuatnya hanya mampu bertahan lima menit. Ia memohon agar bisa dibius selama pemeriksaan, tapi prosedur kembali jadi penghalang.
“Tiga kali dicoba, saya tidak kuat. Saya cuma minta dibius agar bisa diperiksa. Tapi mereka malah suruh saya balik ke rumah sakit asal. Padahal itu tujuh jam lagi perjalanannya,” kata Ali, menunduk lelah.
