HARIAN BERKAT – Kementerian Agama (Kemenag) tengah menyusun regulasi khusus yang mengatur keberadaan dan tata kelola rumah doa, guna mencegah konflik keagamaan di tengah masyarakat. Langkah ini diambil menyusul insiden perusakan tempat ibadah di Sukabumi, Jawa Barat, pada 27 Juni 2025.
Kepala Pusat Kerukunan Umat Beragama (PKUB) Kemenag, Muhammad Adib Abdushomad, menjelaskan bahwa rumah doa kerap digunakan sebagai tempat ibadah, namun belum memiliki dasar hukum yang jelas dalam regulasi yang ada.
“Rumah doa sering menjadi ruang ibadah, tapi tidak diatur dalam Peraturan Bersama Menteri (PBM) No. 9 dan 8 Tahun 2006,” ujar Adib.
Dalam PBM tersebut, hanya diatur pendirian tempat ibadah formal seperti masjid, gereja, pura, vihara, dan klenteng. Sementara, rumah doa yang bersifat privat atau terbatas belum mendapat pengakuan hukum yang jelas.
Menurut Adib, istilah “rumah doa” banyak digunakan oleh gereja-gereja Pentakostal dan Injili, namun kurang dikenal oleh denominasi lain seperti Katolik atau Lutheran. Ketidakjelasan ini berpotensi menimbulkan gesekan sosial.
Insiden di Sukabumi menjadi contoh nyata pentingnya regulasi. Sebuah rumah tinggal yang sebelumnya digunakan untuk usaha pertanian dan peternakan mulai difungsikan sebagai tempat ibadah sejak April 2025. Meski warga dan Ketua RT sempat menyampaikan keberatan secara persuasif, kegiatan tetap dilaksanakan, termasuk kedatangan rombongan besar yang menimbulkan keresahan.